Review Film Orpa : Irisan Kasur, Dapur, Sumur dalam Benak Remaja
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Theo Rumansara, seorang sutradara asli Papua, menjadi sebuah karya yang bukan hanya menghibur, tetapi juga menggugah pemikiran, serupa dengan semangat perlawanan Emma Goldman.
10/12/20253 min read


Fenomena kasur, dapur, sumur, sebagai simbol peran perempuan, tampaknya tidak pernah berkesudahan. Kita sering mendengar bahwa perempuan, sejauh apapun pendidikannya, akan kembali pada kasur, dapur, sumur. Stereotip ini masih mengakar dalam masyarakat di Indonesia dan berbagai negara lain. Meskipun di era digital ini, saya pikir terjadi sedikit perubahan, namun pemikiran ini menjadi kabur ketika saya menonton Film Orpa pada acara Revisited 2023 yang diselenggarakan oleh Kine Forum di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Theo Rumansara, seorang sutradara asli Papua, menjadi sebuah karya yang bukan hanya menghibur, tetapi juga menggugah pemikiran, serupa dengan semangat perlawanan Emma Goldman. Pada tahun 1884, saat usianya 15 tahun, Emma Goldman dipaksa menikah oleh ayahnya. Ketika Goldman menolak dan memohon untuk melanjutkan sekolahnya, ayahnya merespon dengan pandangan patriarki yang menyatakan bahwa anak perempuan hanya perlu tahu bagaimana cara mengurus rumah tangga dan melahirkan anak.
Paralel ini terasa dalam film Orpa, yang memiliki premis sederhana namun mendalam. Orpa, karakter utama film, berhadapan dengan dilema antara keinginan untuk melanjutkan pendidikan dan tekanan pernikahan. Pemberontakan Orpa sepanjang film, seraya mengingatkan saya pada semangat perlawanan Goldman terhadap norma-norma sosial yang merugikan perempuan dan penekanan pada kebebasan individu. Goldman, melalui pandangannya, menekankan kebebasan tak terbatas bagi diri sendiri dan bagi orang lain, serta menjalani hidup sesuai yang diinginkan individu. Dalam konteks film Orpa, hal yang menjadi fokus adalah kebebasan pendidikan yang seharusnya dimiliki oleh Orpa sebagai seorang anak dan keinginan Orpa untuk hal tersebut juga.
Hal menarik dalam film ini terletak pada konflik-konflik yang sangat lokal dan erat keterkaitannya dengan alam, dengan hutan, dan masyarakat adat. Pandangan Orpa sebagai seorang remaja 16 tahun menambah dimensi baru pada cerita, membawa penonton ke dalam benaknya yang penuh dengan pertanyaan tentang peran perempuan.
Dialog di dapur antara Orpa dan Mamanya menciptakan momen yang membuat kita masuk dalam benaknya Orpa, Mamanya Orpa berkata Orpa ketika nanti sudah jadi istri, kamu yang harus menyiapkan makanan untuk suamimu, karena suamimu sudah lelah bekerja dan mencari uang. Lalu, Orpa menjawab iya, saya tahu mama, mama sudah ajarkan, namun bagaimana jika saya juga bekerja dan lelah? - kurang lebih dialognya seperti itu -. Sebuah pertanyaan yang penuh dengan kejujuran dari pemikiran seorang anak. Dan sepanjang film kita disuguhkan jawaban-jawaban yang menggelitik kita sebagai orang dewasa.
Film ini pun relevan dengan realitas Indonesia, terutama dalam konteks tingginya kasus pernikahan anak dan bagaimana stereotip yang melekat pada perempuan, hanya kasur, sumur, dapur. Selain itu, upaya Theo Rumansara untuk memasukkan tanaman herbal dalam cerita memberikan nuansa berbeda. Penggunaan pengetahuan Orpa tentang tumbuhan sebagai obat memberikan legitimasi kekayaan alam Papua, namun di sisi lain pengetahuan itu tidak dapat digunakan oleh Orpa, karena ia dilihat sebagai seorang yang masih belia, seorang perempuan, dan otomatis keberadaan dirinya menjadi luntur, boleh kita katakan tidak ada. Kita harus mengakui bahwa realitas sosial yang menempatkan perempuan sebagai tidak berarti dalam struktur patriarki masih terasa kuat. Apalagi Orpa, sebagai seorang yang masih sangat muda, ia sudah diasingkan terlebih dahulu, ia tidak perlu diperhitungkan, ia bukan siapa-siapa, ia tidak perlu didengar, begitulah kiranya gambaran dalam keluarganya. Sebuah realitas yang masih sangat kokoh di masyarakat kita.
Ketika, adiknya, Julius mati, itulah puncak kekecewaan Orpa, hanya karena dia perempuan, seorang anak, dia tidak diperhitungkan untuk bisa menjadi bagian dari solusi. Padahal Orpa mempunyai pengetahuan untuk dapat menyembuhkan penyakit asmanya Julius, namun ayahnya tidak percaya pada Orpa. Lagi-lagi seperti pada keluarga patriarkal umumnya, bahwa tak ada yang lebih agung dari seorang anak perempuan selain mengikuti perjodohan, menikah dengan orang kaya, dan mendapatkan uang bulanan.
Namun, menurut hemat saya, keberanian Orpa tidak berjalan sendiri, ia mampu berdebat karena melihat realitas, membaca pengetahuan dari buku, ia pun mampu bertindak untuk kabur dari rumahnya. Salah satu kekuatan utamanya adalah berasal dari mamanya. Bagaimana keterhubungan ibu dan anak dalam film Orpa menghadirkan gambaran bahwa jauh di lubuk hati seorang mama, ia tak ingin Orpa menjadi seperti dirinya, menikah saat usia masih belia, hidup dalam satu rumah yang tidak saling mengenal, tak saling menyayangi, dan penuh dengan kekerasan.
Hal lainnya, yang tak luput untuk disampaikan dalam tulisan ini adalah kehadiran karakter pendukung seperti Ryan, musisi dari Jakarta yang datang ke Papua untuk merekam suara-suara yang belum pernah didengarnya. Ini memberikan dimensi lain pada film ini, menyoroti perbedaan perspektif antara orang Jakarta dan Papua. Keberanian film ini selain dari narasinya, tentu saja karakter Ryan dihadirkan secara absurd dan itulah yang memecah tawa penonton. Saya pribadi, sebagai penonton awam merasakan naik turun emosi sepanjang film dan menjadi paket lengkap dengan audionya yang ciamik.
Pun, Ryan adalah menjadi karakter kunci dalam jawaban penggunaan pengetahuan Orpa terkait tanaman herbal. Bagaimana seseorang yang dari Jakarta mengomentarinya ketika melihat Orpa memetik daun dan Orpa menjawab, daun ini obat. Lalu Ryan membalasnya dengan ketus seraya tidak percaya, namun dialog diantara mereka lah yang menghadirkan kepercayaan akan pengetahuan Orpa. Hingga akhirnya Orpa mampu menggunakan pengetahuannya dan mendapatkan kepercayaan akan itu.
Tentu saja, menjadi penting untuk kita terus menerus mengikis stereotip terkait perempuan hanya kasur, dapur, sumur dan film ini berhasil menghadirkan ruang untuk diskusi lebih lanjut. Menurutmu perjuangan kita untuk itu akan sampai kapan? Terima kasih pada Theo Rumansara telah menghadirkan karya yang indah dan Orsila Murib yang telah memerankan Orpa dengan begitu cerdas.***